Pagi pertama di 2016 *Late Post
Tulisan ini seharusnya ditulis 2 bulan yang lalu, tapi karena saya lagi sok sibuk, akhirnya baru
punya waktu menulis kembali baru-baru ini, so here they
are cuap-cuap ngga penting dari saya :)
Entah kenapa saya ingin menutup tahun 2015 saya dengan mendaki gunung, jauh dari hingar bingar kota dan kebisingan lalu lintas (harapan saya). Trip penghujung tahun ini lumayan sepi, hanya 9 orang plus 3 TL (Theater Adventure) yang berangkat. Gunung Prahu yang berdiri kokoh di Wonosobo Jawa Tengah adalah tujuan kami. Sore itu sekitar pukul 3 sebagian besar dari kami telah berkumpul di meeting point Pool bus Sinar Jaya, Pasar Minggu. Sebenarnya bus baru berangkat sekitar pukul 4.30 namun hal itu tidak menyurutkan rasa antusias kami sore itu.
Jarak Jakarta - Wonosobo yang kami lalui cukup panjang. Bus sempat berhenti 2 kali di tempat pemberhentian yang digunakan beberapa penumpang untuk mengisi / mengosongkan isi perutnya. Setelah hampir 12 jam perjalanan, sekitar pukul 3 dini hari sampailah kami di terminal Wonosobo (lumayan lebih cepat 30 menit dari itenerary). Layaknya terminal besar antar kota, terminal ini juga tak pernah terlelap tidur. Terlihat toko-toko dan warung-warung yang menyediakan makanan masih berjajar dengan terangnya menyambut beberapa pelanggan barunya. Sembari menunggu angkutan yang akan membawa kami ke base camp pendakian Patak Banteng, kami memanfaatkan waktu untuk makan dan beberapa dari kami juga mandi (maklum diatas sana tidak ada air, jadi mandilah selagi bisa *itu prinsip saya).
Di tengah penantian kita, Robin menginfokan untuk sekalian membeli tiket pulang dikarenakan hari kepulangan nanti adalah peak season tahun baru (takut kehabisan) dan counter
tiket bus ternyata baru buka pukul 7 pagi. Setelah urusan tiket
kepulangan kami beres, barulah kita berangkat dengan tenang menuju base camp pendakian dengan menggunakan mini bus. Mini bus yang kita charter patungan dengan pendaki lain ini membawa kita kurang lebih satu jam menyusuri jalanan Wonosobo yang indah menuju kaki Prahu.
Dikarenakan di puncak Prahu tidak ada sumber air,
masing-masing dari kami diminta membawa 3 liter air mineral untuk kebutuhan di
perjalanan dan di camp area. Namun, dasar kami ini pendaki
amatiran yang ogah repot dan ogah bawa berat (bawa badan aja udah
berasa berat), akhirnya kami memutuskan menyewa porter patungan untuk mengangkut air kami ke atas sana.
Sebenarnya ada 3 jalur pendakian ke puncak prahu yang bisa ditempuh dari 3 tempat yang berbeda; Jalur Pranten (Bawang), Jalur Patak Banteng (Wonosobo) dan jalur Kenjuran (Kendal). Patak Banteng sendiri merupakan jalur favorit yang dipilih oleh para pendaki. Robin mengestimasikan perjalanan sampai ke puncak memakan waktu kurang lebih 4 jam dengan melewati 4 pos pendakian dari Patak Banteng.
Track dari pos 1 menuju pos 2 didominasi oleh tangga yang tersusun oleh bebatuan yang panjang, hmmmm jangan berpikir ada bonus track datar ya di jalur ini, yap this track is like our shock theraphy, karena jalan yang berbatu dan terus terusan naik ini sangat
menguras tenaga kami. Mungkin salah kami juga tidak melakukan pemanasan terlebih dahulu sebelum naik sehingga proses adaptasi tubuh terhadap jalur track agak lama. Beberapa kali kami perlu berhenti untuk menghimpun tenaga dan beristirahat, pemandangan
kanan kiri yang ijo royo-royo bikin seger mata cukup memotivasi kami untuk melanjutkan kembali perjalanan.
Sesampai di pos 2, kami masih bisa menjumpai pedagang siomay dan cimol. Mampir sebentar sambil icip-icip cimol, kami berhenti
agak lama di pos ini. Di pos 2, Robin berpamitan dan berpisah dengan rombongan
karena harus booking tempat di camp area biar dapet yang strategis (maklum new year eve jadi banyak yang mau camping).
Bagi yang mau lebih hemat tenaga ternyata ada layanan ojek untuk
mendaki dari pos 1 ke pos 2 ini (tapi ya masa naik gunung kok pake ojek,
kan kurang greget).
Cukup beristirahat di pos 2, kami melanjutkan perjalanan ke pos 3. Track kali ini lagi-lagi didominasi oleh tangga naik. Tangga kebanyakan terbuat dari bambu bukan batu seperti yang terihat di pos 1. Mungkin karena kita sudah mulai terbiasa, perjalan menuju pos 3 terasa lebih ringan dari pada dari pos 1 ke pos 2 (mulai sombong :P).
Melewati pos demi pos, walaupun sudah mulai terbiasa
dengan track-nya, namun energi sudah mulai terkuras dan kami masih harus
melalui 1 pos lagi dengan track tangga yang lebih 'berantakan'. Jalur yang kita lalui masih berstruktur tanah gunung dan Thanks God
walaupun cuaca hari itu cukup mendung, namun hujan belum turun. Saya
pernah mendaki gunung (eh gunung atau bukit ya) dalam kondisi hujan dan
itu sangat tidak mudah, karena setiap langkah yang akan kita ambil harus
dipikirkan untuk tetap menjaga keseimbangan agar tidak terpeleset. Di perjalanan
menuju pos ke 4 kami bertemu kembali dengan Robin. Amazed deh sama orang ini, badan
boleh kecil tapi tenaga ruarr biasa.
Dan akhirnya perjuangan kami tidak sia-sia, ujung-ujung tenda warna-warni mulai kelihatan sebagai pertanda kita sudah sampai di camp area. Camp area
merupakan bagian dari puncak Gunung Prahu yang berbentuk padang rumput panjang
serupa Savana luas yang melintang dari barat dan timur. Kami tiba di camp area
sekitar pukul 1 siang (kalo ngga salah inget) dan hujan mulai turun
siang itu, untungnya Tim TL sudah selesai mendirikan tenda. Disekeliling
tenda kami dibuat parit kecil kalo-kalo hujan deras turun agar air
tidak mengalir membanjiri tenda kami. Semakin sore semakin banyak
pendaki yang berdatangan dan memenuhi camp area, ada juga yang niat datang berdua (suami istri) jauh-jauh dari Jakarta untuk menghabiskan pergantian malam baru di tempat ini.
Ada
sedikit kegelisahan hati saya sebagai pendaki amatiran ditempat ini
yang ingin saya tuliskan. Tempat ini begitu indah, banyak pendaki yang
notabene menyebut dirinya pecinta alam, namun saya tidak melihat mereka
mencintai alam ini (setidaknya dari kacamata saya sendiri).
Sampah.. ya masih dengan problem yang sama. Ketika saya melemparkan pandangan ke luar tenda, mata saya terganggu dengan sampah-sampah yang berceceran di berbagai tempat yang didominasi oleh sampah tissue dan plastik. Memang camp area gunung Prahu tidak dilengkapi dengan fasilitas toilet dan sanitasi, dan tidak ada sumber air yang mengalir juga disana. Dan saya sangat memahami buang air kecil dan air besar adalah sifat naluriah semua manusia. Dalam keadaan normal saja kita akan melakukannya setiap hari, apalagi di gunung yang udaranya dingin. First, let say thanks to wet and dry tissue founder karena permasalahan kebersihan badan tanpa air dapat diatasi menggunakan 2 benda tersebut. Namun hendaknya kita lebih bijaksana lagi dalam menggunakannya apalagi di gunung. Tissue kering memang terbuat dari bahan yang larut dalam air, namun sebenarnya tidaklah bijak jika kita samakan gunung dengan toilet flush kita yang bisa melarutkan tissue dalam sekejap. Tissue-tissue kering itu hanya akan larut ketika hujan datang dan kenyataannya tidak setiap hari kita mendapati hujan disana. Sementara hujan tak kunjung turun dan bekas-bekas tissue akan terus menumpuk karena makin banyak orang yang membuangnya dan berharap akan larut dengan sendirinya. Mengenai wet tissue yang susah larut dalam air, marilah kita sebagai manusia yang apabila belum bisa berkontribusi menyelamatkan alam, setidaknya tidak menambah kerusakan lingkungan dengan mengumpulkan dan membawa sampah kita sendiri. Jangan sampai pepatah 'Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama' berubah menjadi 'Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan sampah' disematkan kepada kaum kita.
Mengenai buang air besar, saya percaya sebagai manusia, kita memiliki moral yang tinggi untuk beretika dalam masalah buang membuang hajat ini. Ketika di gunung dan panggilan alam mengeluarkan hajat tidak bisa tertahankan ada suatu cara yang lebih beradab dengan menggali lubang dan menutup kembali jika sudah selesai daripada hanya menyamarkan 'jejak' dengan menutupinya dengan tissue. Saya tidak tahu apakah semua yang mendaki gunung mengetahui tips (lazim) tersebut, namun apabila ada yang kebetulan belum mengetahuinya mari kita sama-sama belajar dari kucing yang telah secara naluriahnya menerapkan tips membuang hajat ini sepanjang hidupnya (oh my God, I have just gave tips for defecate).
Sebenarnya larangan buang sampah sembarangan telah dipasang di sepanjang jalur pendakian dan di sekitar camp area, dengan berbagai macam variasinya mulai dari tulisan persuasif yang halus sampai dengan sarkartis. Ironisnya saya masih melihat sampah di sekitar papan peringatan didirikan. Sering saya mendapati teman yang dengan seenaknya membuang 1 bungkus permen/1 puntung rokok dengan sembarangan. Mereka beranggapan bahwa sampah yang dibuangnya adalah sampah kecil yang tidak berarti dibandingan gunungan sampah yang dapat menyebabkan banjir. Ketahuilah wahai teman, 1 bungkus permen atau 1 puntung rokok di gunung/di jalan adalah awal mula puluhan, ratusan, ribuan, jutaan bahkan trilyunan gunungan sampah. Dan kita sendiri sudah hafal dengan sifat kebanyakan penduduk bangsa ini, ketika mereka memberikan 1 excuse terhadap aturan maka kecenderungannya adalah orang akan semakin tidak merasa bersalah ketika dia mengulangi excuses itu kembali lagi dan lagi. Kebisaan dan sikap ini kebanyakan akan mudah menular dan menyebar dari satu orang ke orang lainnya. Maka marilah sekali lagi kita mendidik diri kita sendiri untuk mulai malu membuang sampah tidak pada tempatnya. Mengutip sedikit lirik lagu rude yang dinyanyikan Magic 'No still means no', dan akhirnya peraturan tetaplah peraturan yang harus ditaati dan dibuat untuk kenyamanan bersama.
Saya
sudahi tulisan tak berarti saya tentang sampah, dan beralih ke
cuap-cuap tak berarti saya lainnya :). Saya tidak tahu apakah orang di
negara tercinta ini adalah orang yang gemar melanggar aturan (termasuk
saya). Sejak dari kaki gunung peraturan telah jelas disebutkan bahwa
segala macam petasan dan minuman yang mengandung alkohol tidak
diperbolehkan dibawa ke atas gunung, namun kenyatannya saat jam 12 malam
tiba duarrrrr petasan mulai dinyalakan oleh beberapa pendaki dan
alhasil para petugas jaga dibuat repot untuk mencari oknum-oknum ini.
Satu lagi yang menggelitik saya dalam meraih cita-cita saya untuk mengalami pergantian taun baru yang syahdu diatas gunung (walau ngga kesampaian). Ya saya tahu malam tahun baru adalah malam pergantian yang dirayakan satu tahun sekali dan mungkin sayang dilewatkan dengan tertidur. Namun ingatlah manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lainnya yang perlu kita hargai. Setelah hingar bingar perayaan, mungkin ada beberapa pendaki yang ingin tidur untuk menyiapkan tenaga turun di keesokan harinya, atau mungkin ada yang ingin merenung dan membutuhkan ketenangan. Pada hari itu sayangnya, saya tidak melihat rasa saling menghargai itu. Yang saya rasakan dan dengarkan semalaman suntuk adalah suara-suara sebagian besar remaja tanggung (ABG) yang tidak ramah di telinga dengan intonasi yang tidak normal (baca: teriak) mengganggu kenyamanan orang lain.
As usual pemandangan sunrise
di gunung adalah yang selalu ditunggu dalam setiap pendakian. Sang mentari selalu menampilkan pesona indahnya di ketinggian yang terlalu sayang dilewatkan.
Pagi itu sekitar pukul setengah 5 kami sudah ambil posisi untuk
menikmati fenomena alam dan menyambut pagi pertama di 2016 dengan senyum
ceria kami.
Yayy
pagi pertama di 2016 disambut dengan cerahnya sang matahari, sesampai
di tenda sudah disambut dengan gorengan-gorengan panas, yang langsung saja
kami lahap. Kegiatan dilanjutkan dengan masak sarapan pagi dan re-packing barang-barang yang akan kami bawa turun. Sarapan ala kadarnya eh ngga dink
termasuk mewah saya bilang, karena biasanya di gunung makan mie instan
eh kali ini makan nasi goreng lengkap dengan sosis dan telornya sungguh
terasa nikmat... what a life.
Sekitar pukul 8 pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju puncak gunung Prahu yang sebenarnya,
di ketinggian 2565 MDPL. Puncak ini tidak terlalu jauh dari lokasi camp area.
Tidak seperti kawasan camp yang luas dan hijau, di ketinggian ini hanya berdiri satu batu sederhana bertuliskan 2565 MDPL sebagai penanda kita telah sampai di puncak. Kami tidak terlalu lama di puncak, karena gerimis hujan mulai turun.
Entah kenapa saya ingin menutup tahun 2015 saya dengan mendaki gunung, jauh dari hingar bingar kota dan kebisingan lalu lintas (harapan saya). Trip penghujung tahun ini lumayan sepi, hanya 9 orang plus 3 TL (Theater Adventure) yang berangkat. Gunung Prahu yang berdiri kokoh di Wonosobo Jawa Tengah adalah tujuan kami. Sore itu sekitar pukul 3 sebagian besar dari kami telah berkumpul di meeting point Pool bus Sinar Jaya, Pasar Minggu. Sebenarnya bus baru berangkat sekitar pukul 4.30 namun hal itu tidak menyurutkan rasa antusias kami sore itu.
Jarak Jakarta - Wonosobo yang kami lalui cukup panjang. Bus sempat berhenti 2 kali di tempat pemberhentian yang digunakan beberapa penumpang untuk mengisi / mengosongkan isi perutnya. Setelah hampir 12 jam perjalanan, sekitar pukul 3 dini hari sampailah kami di terminal Wonosobo (lumayan lebih cepat 30 menit dari itenerary). Layaknya terminal besar antar kota, terminal ini juga tak pernah terlelap tidur. Terlihat toko-toko dan warung-warung yang menyediakan makanan masih berjajar dengan terangnya menyambut beberapa pelanggan barunya. Sembari menunggu angkutan yang akan membawa kami ke base camp pendakian Patak Banteng, kami memanfaatkan waktu untuk makan dan beberapa dari kami juga mandi (maklum diatas sana tidak ada air, jadi mandilah selagi bisa *itu prinsip saya).
Terminal Wonosobo |
Dalam perjalanan menuju Patak banteng |
Sebenarnya ada 3 jalur pendakian ke puncak prahu yang bisa ditempuh dari 3 tempat yang berbeda; Jalur Pranten (Bawang), Jalur Patak Banteng (Wonosobo) dan jalur Kenjuran (Kendal). Patak Banteng sendiri merupakan jalur favorit yang dipilih oleh para pendaki. Robin mengestimasikan perjalanan sampai ke puncak memakan waktu kurang lebih 4 jam dengan melewati 4 pos pendakian dari Patak Banteng.
Pos 1, Patak Banteng |
Jalanan setelah melawati ratusan anak tangga |
Cukup beristirahat di pos 2, kami melanjutkan perjalanan ke pos 3. Track kali ini lagi-lagi didominasi oleh tangga naik. Tangga kebanyakan terbuat dari bambu bukan batu seperti yang terihat di pos 1. Mungkin karena kita sudah mulai terbiasa, perjalan menuju pos 3 terasa lebih ringan dari pada dari pos 1 ke pos 2 (mulai sombong :P).
Tangga Bambu |
Semangattt |
Say hiiiii |
Robin sang TL |
Track menuju pos 4 |
Istirahattt |
Serunya track pendakian |
Ramai hilir mudik pendaki |
Sampah.. ya masih dengan problem yang sama. Ketika saya melemparkan pandangan ke luar tenda, mata saya terganggu dengan sampah-sampah yang berceceran di berbagai tempat yang didominasi oleh sampah tissue dan plastik. Memang camp area gunung Prahu tidak dilengkapi dengan fasilitas toilet dan sanitasi, dan tidak ada sumber air yang mengalir juga disana. Dan saya sangat memahami buang air kecil dan air besar adalah sifat naluriah semua manusia. Dalam keadaan normal saja kita akan melakukannya setiap hari, apalagi di gunung yang udaranya dingin. First, let say thanks to wet and dry tissue founder karena permasalahan kebersihan badan tanpa air dapat diatasi menggunakan 2 benda tersebut. Namun hendaknya kita lebih bijaksana lagi dalam menggunakannya apalagi di gunung. Tissue kering memang terbuat dari bahan yang larut dalam air, namun sebenarnya tidaklah bijak jika kita samakan gunung dengan toilet flush kita yang bisa melarutkan tissue dalam sekejap. Tissue-tissue kering itu hanya akan larut ketika hujan datang dan kenyataannya tidak setiap hari kita mendapati hujan disana. Sementara hujan tak kunjung turun dan bekas-bekas tissue akan terus menumpuk karena makin banyak orang yang membuangnya dan berharap akan larut dengan sendirinya. Mengenai wet tissue yang susah larut dalam air, marilah kita sebagai manusia yang apabila belum bisa berkontribusi menyelamatkan alam, setidaknya tidak menambah kerusakan lingkungan dengan mengumpulkan dan membawa sampah kita sendiri. Jangan sampai pepatah 'Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan nama' berubah menjadi 'Harimau mati meninggalkan belang, Gajah mati meninggalkan gading dan manusia mati meninggalkan sampah' disematkan kepada kaum kita.
Mengenai buang air besar, saya percaya sebagai manusia, kita memiliki moral yang tinggi untuk beretika dalam masalah buang membuang hajat ini. Ketika di gunung dan panggilan alam mengeluarkan hajat tidak bisa tertahankan ada suatu cara yang lebih beradab dengan menggali lubang dan menutup kembali jika sudah selesai daripada hanya menyamarkan 'jejak' dengan menutupinya dengan tissue. Saya tidak tahu apakah semua yang mendaki gunung mengetahui tips (lazim) tersebut, namun apabila ada yang kebetulan belum mengetahuinya mari kita sama-sama belajar dari kucing yang telah secara naluriahnya menerapkan tips membuang hajat ini sepanjang hidupnya (oh my God, I have just gave tips for defecate).
Sebenarnya larangan buang sampah sembarangan telah dipasang di sepanjang jalur pendakian dan di sekitar camp area, dengan berbagai macam variasinya mulai dari tulisan persuasif yang halus sampai dengan sarkartis. Ironisnya saya masih melihat sampah di sekitar papan peringatan didirikan. Sering saya mendapati teman yang dengan seenaknya membuang 1 bungkus permen/1 puntung rokok dengan sembarangan. Mereka beranggapan bahwa sampah yang dibuangnya adalah sampah kecil yang tidak berarti dibandingan gunungan sampah yang dapat menyebabkan banjir. Ketahuilah wahai teman, 1 bungkus permen atau 1 puntung rokok di gunung/di jalan adalah awal mula puluhan, ratusan, ribuan, jutaan bahkan trilyunan gunungan sampah. Dan kita sendiri sudah hafal dengan sifat kebanyakan penduduk bangsa ini, ketika mereka memberikan 1 excuse terhadap aturan maka kecenderungannya adalah orang akan semakin tidak merasa bersalah ketika dia mengulangi excuses itu kembali lagi dan lagi. Kebisaan dan sikap ini kebanyakan akan mudah menular dan menyebar dari satu orang ke orang lainnya. Maka marilah sekali lagi kita mendidik diri kita sendiri untuk mulai malu membuang sampah tidak pada tempatnya. Mengutip sedikit lirik lagu rude yang dinyanyikan Magic 'No still means no', dan akhirnya peraturan tetaplah peraturan yang harus ditaati dan dibuat untuk kenyamanan bersama.
Salah satu contoh ironi, sudah ada papan peringatan dilarang berkemah, tapi tetap saja ada yang mendirikan tenda disana |
Satu lagi yang menggelitik saya dalam meraih cita-cita saya untuk mengalami pergantian taun baru yang syahdu diatas gunung (walau ngga kesampaian). Ya saya tahu malam tahun baru adalah malam pergantian yang dirayakan satu tahun sekali dan mungkin sayang dilewatkan dengan tertidur. Namun ingatlah manusia adalah makhluk sosial yang memiliki kepentingan yang berbeda satu sama lainnya yang perlu kita hargai. Setelah hingar bingar perayaan, mungkin ada beberapa pendaki yang ingin tidur untuk menyiapkan tenaga turun di keesokan harinya, atau mungkin ada yang ingin merenung dan membutuhkan ketenangan. Pada hari itu sayangnya, saya tidak melihat rasa saling menghargai itu. Yang saya rasakan dan dengarkan semalaman suntuk adalah suara-suara sebagian besar remaja tanggung (ABG) yang tidak ramah di telinga dengan intonasi yang tidak normal (baca: teriak) mengganggu kenyamanan orang lain.
Di camp area |
Mengisi waktu malam dengan sesi foto dengan gaya ala kadarnya |
Camp area di waktu malam |
Menunggu sunrise |
Lautan manusia |
Sedikit wefie di pagi pertama |
Masak memasak |
Sarapan bersama |
Puncak gunung Prahu |
Perjalanan
turun gunung kami selain disertai dengan gerimis mengundang juga
disajikan pemandangan yang luar biasa indahnya, mulai dari hijaunya bukit
telletubies, hamparan bunga, hutan cemara dan ladang persawahan yang
membuat mata tidak bosan namun tetap membuat kaki terasa lelah :). Oh
iya foto-foto dihamparan bunga dilakukan dengan sangat hati-hati tanpa
merusak bunganya (berjaga jaga kalo ada yang bully di sosmed seperti yang ituh..)
Hamparan bunga-bunga |
Pose sok imut |
cewek cewek kece |
Bentangan Savana |
Full Team |
Hutan cemara |
Ladang petani |
Kami berhasil sampai di kaki gunung sekitar pukul 1 siang dan dilanjutkan dengan perjalanan naik mini bus ke terminal Wonosobo. Perjalanan sedikit terganggu dengan perbaikan jalan akibat longsor di jalur pulang, untungnya kami sampai tepat waktu di terminal Wonosobo dan segera menaiki bus kami untuk kembali ke Ibu kota tercinta. Demikian sedikit catatan perjalanan akhir 2015 dan permulaan 2016 saya, semoga bermanfaat dan sampai jumpa di trip-trip selanjutnya.....
- See you when I see you -
- See you when I see you -
3 komentar:
Post a Comment