Setelah beberapa kali menjadi anak gunung, ada perasaan kangen juga mengunjungi pantai dan entah kenapa tiba-tiba di kepala saya muncul nama tempat Ujung Kulon. Sempat iseng discuss ke beberapa teman jalan tentang keinginan ini dan tak disangka seminggu kemudian Bang Jemie (TL waktu ke Baduy Dalam) menseriusi keinginan ini dan dibukalah open trip ke Ujung Kulon dengan kuota 17 orang. Saya, Bang Boni, Lila (karena suatu alasan gagal ikut) dan Okty yang pada awalnya ragu-ragu berangkat mulailah mencari teman-teman yang lain untuk memenuhi kuota ini. Saya mulai menebarkan virus open trip di kantor dan terkumpulah 8 orang yang bersedia ikut trip ini. Sisa kuota sebagian besar diisi teman-teman kantor Bang Boni (hmm jadi semacam outing perpaduan 2 kantor ini yah tampaknya).
Ujung Kulon & Pil Kina
Menurut berbagai sumber yang kami baca, serta mendengar keterangan orang-orang yang telah berkunjung kesana, Ujung Kulon termasuk daerah endemik malaria. Dan satu satunya obat malaria yang saya tahu adalah pil kina, so seminggu sebelum hari H, di group whatsapp dipenuhi dengan obrolan malaria dan pil kina. Untuk berjaga jaga, akhirnya kami semua dianjurkan mengkonsumsi pil kina. Dosis dokter menganjurkan untuk memakannya 1 butir setiap hari pada 3 hari sebelum berangkat dan 2 hari setelah pulang traveling. Tapi karena saya terlalu kreatif (baca) malas makan obat, jadi saya membuat dosis sendiri yaitu mengkonsumsinya di 2 hari sebelum berangkat dan 1 kali setelah pulang perjalanan. Beberapa teman mengatakan efek dari mengkonsumsi pil kina adalah mual dan mules. Efek lain yang terjadi pada saya setelah makan pil kina adalah munculnya rasa kantuk yang teramat sangat, ini sih mungkin karena saya minumnya menjelang tidur kali ya.
The day has come
Jumat, sekitar pukul 9 PM kami berkumpul di plaza semanggi yang merupakan meeting point yang telah disetujui. Kali ini sebagian besar peserta open trip sudah saling mengenal, jadi acara perkenalan tidak memakan waktu yang lama dan tepat pukul setengah 11 malam kami berangkat menggunakan elf.
Sebelum berangkat |
Dermaga Sumur (menuju kapal) |
di perjalanan |
Pulau Peucang |
Setelah meletakkan barang-barang di homestay, bergegas kami berganti baju untuk bersiap siap snorkeling di Ciapus dan Citerjun. Spot snorkeling yang pertama adalah di Ciapus. Kami perlu naik kapal lagi sekitar 30 menitan dari Pulau Peucang untuk mencapai spot ini. Setelah berhasil nyemplung dengan tidak elegannya, saya mulai mengeksplore pemandangan bawah lautnya. Hmmmmm menurut saya sih pemandangan bawah lautnya standar saja, terumbu karangnya warnanya seragam dan tidak ada ikan berkeliaran kesana kesini (kayak kurang semarak gitu).
Spot snorkeling Ciapus |
Under Water Ciapus |
Say hello from Citerjun |
Salah satu teman saya menyelam di kedalaman |
Under Water Citerjun |
Setelah lelah bersenorkeling di dua tempat, akhirnya kami kembali ke Pulau Peucang. Sesampai di Pulau Peucang beberapa dari kami tak langsung makan siang karena ketagihan dengan pantai pasir putihnya nan lembut, jadi akhirnya guling-gulingan dulu di pasir dan foto-foto ngga penting di pantai. Ketika panggilan alam perut sudah tidak dapat ditahan lagi, langsung kita menyerbu dapur tempat makan. Memang ya kalo perut lapar dan badan cape makan apapun akan terasa nikmat apalagi makannya ditemani ama babi hutan, kijang dan monyet. Awalnya sih kami merasa takut, apalagi dengan babi hutan yang bentuk dan warnanya saja sudah nyeremin tapi lama kelamaan kami jadi terbiasa juga sih, anggap saja seperti ayam berbentuk babi gitu yang berkeliaran di halaman sewaktu kita makan.
Levitasi gagal (saya) |
Pantai Peucang |
Bersama babi hutan |
Pohon terbelah |
Pohon dengan batang melingker |
di rerimbunan akar |
Senja di Peucang |
Sunset |
Di atas batu karang |
Malam di Peucang
Tempat yang pertama kali kita tuju sesampainya di homestay adalah dapur, tanpa basa basi kami langsung makan dengan lahapnya dan tetap ditemani sama si unyu babi hutan, rusa dan monyet. Listrik di Pulau Peucang hanya menyala mulai jam 5 sore sampai dengan jam 7 pagi. Karena kegirangan ada aliran listrik so manusia-manusia modern yang telah menempatkan colokan sebagai kebutuhan primer ini cepat-cepat menancapkan charger ponselnya, alhasil dayanya ngga kuat dan langsung mati lagi listriknya. Untung saja si bapak ranger segera turun tangan dan aliran listrik kembali mengalir.
Menjelang malam sebagian besar dari kelompok kami sudah menuju ke kasur masing-masing karena kecapean. Beberapa lagi termasuk saya melanjutkan acara barbeque ala kadarnya. Beruntungnya ibu-ibu tempat kami menginap bersedia membuatkan bumbu ikan bakar. Salah satu teman saya pun bersedia menjadi volunteer untuk mengoleskan bumbu dan membakarnya. Dikarenakan ukuran ikan yang terlampau besar dan cuma kita belah menjadi 2, akhirnya menghasilkan pembakaran yang tidak sempurna a.k.a dalemnya belom mateng. Tapi walau belom matang tetep aja tuh kita makan bagian luarnya, dan setelah mencapai tengahnya mulai deh kita bakar lagi biar matang :P. Rasa ikan laut segar memang beda dan walaupun kita bakarnya ala kadarnya tapi ngga berasa amis sama sekali sih (mungkin efek jeruk nipis yang diolesi ke ikan sebelum dibakar).
Tempat penginapan kami |
Pemandangan di pagi hari |
Keesokan paginya kami meninggalkan peucang pukul 8 untuk menuju Cidaon. Cidaon termasuk kawasan cagar alam Pulau Handeleum. Kabarnya terdapat padang penggembalaan alami (savana) untuk banteng di Cidaon. Jarak Cidaon hanya sekitar 15 menit dari Peucang dan untuk mencapai savananya pun tidaklah sulit sekitar 10 menit tracking juga sudah sampai. Sesampai di Cidaon kami tidak melihat banteng-banteng sedang menacari makan, yang kami temui hanya tulang belulang banteng dan kotoran banteng (ngek ngok padahal udah siap-siap mau rodeo). FYI beberapa bulan lalu saya juga mengunjungi savana bekol di taman nasional gunung ijen namun nihil juga tak melihat kawanan satwa berkeliaran, sebenernya apa sih mau hewan-hewan itu kok begitu saya datangi mereka malah pada ngumpet. Tapi lumayan juga sih teman seperjalanan kami menemukan bulu-bulu burung merak berserakan di sepanjang jalur tracking kami.
Bulu merak |
Savana yang mengering tampak seperti lapangan bola |
Tak ada banteng, fosilnya pun jadi |
Cigenter masih termasuk kawasan cagar alam kepulauan handeleum. Kami harus berganti kapal yang lebih kecil untuk menuju tepi pantai Cigenter karena kapal yang kami tumpangi tidak bisa berlabuh terlalu dangkal. Kegiatan utama kami disini adalah canoing. Ada 3 kano yang tersedia dengan masing-masing kano berkapasitas 5-8 penumpang. Karena kegiatan ini exclude biaya trip jadi masing-masing kepala kena charge 50 ribu. Track canoing-nya lumayan panjang dan pemandangan di sepanjang sungai cigenter didominasi flora hutan hujan tropis. Fauna yang dapat terlihat disini adalah biawak dan ular. Beberapa teman sempat melihat ular pohon yang sedang bergelantungan dan saya tetap tak melihatnya. Ternyata cape juga ya mendayung kano bolak balik, coba aja si bapak pendayungnya bisa nyanyi ala-ala spanyola pasti berasa naik gondola di Venice gitu deh. Pulau Cigenter tidak dihuni oleh manusia dan hanya sesekali pengunjung seperti kami mampir sebentar di pulau ini untuk menyusuri sungainya.
Perahu Kano |
Dayung terusss |
View saat canoing |
Pulau Badul (warna putih itu adalah pulau dengan karang-karang tajam) |
it's time to say good bye |
- See you on another post -
5 komentar:
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Indah ya, belum pernah kesana. Banyak banget tempat di Indonesia yang sebenarnya indah tetapi nggak banyak di explore sama orang Indonesia sendiri.
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬ஜ۩۞۩ஜ▬▬▬▬▬▬▬▬▬
Terima kasih sudah mampir :), Yuk explore lagi yang banyak keindahan indonesia tercinta kita
Keren bingiiittSS 😁😀
#Jangan dirumah aja indonesia itu indaah 😚😘😙😎
Keren bingiiittSS 😁😀
#Jangan dirumah aja indonesia itu indaah 😚😘😙😎
true bie ranger :)
Post a Comment